Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan seorang ulama yang memiliki cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan rakyat nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin basa.
Biografi Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin Basa.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan
Nama Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka agama Islam dengan pribadi yang santun. Sosok Tuanku Imam Bonjol hingga kini tidak bisa dilepaskan dari Kaum Paderi. Kaum Paderi merupakan sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan syiar agama dalam tatanan masyarakat yang zaman dulu populer di tanah Minangkabau terutama pada masa Perang Padri.
Kelompok ini merupakan penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol sendiri dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum Paderi dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dipercaya untuk menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang merupakan sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Padri.
Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando Kaum Paderi ada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Paderi sebelumnya walaupun harus melalui peperangan.
Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau dan umumnya pelonggaran pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri awalnya dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung yakni Sultan Arifin Muningsyah.
Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821 yang justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri. Peperangan ini sendiri pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda dengan susah payah dan dalam waktu yang sangat lama.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang Belanda ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu Tuanku Imam Bonjol langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itulah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Kelompok ini merupakan penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol sendiri dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum Paderi dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dipercaya untuk menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang merupakan sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Padri.
Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando Kaum Paderi ada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Paderi sebelumnya walaupun harus melalui peperangan.
Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau dan umumnya pelonggaran pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri awalnya dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung yakni Sultan Arifin Muningsyah.
Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821 yang justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri. Peperangan ini sendiri pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda dengan susah payah dan dalam waktu yang sangat lama.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang Belanda ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu Tuanku Imam Bonjol langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itulah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
0 komentar:
Posting Komentar